Rhenald Kasali Sebut 4 Masalah Lahirnya Generasi Cemas Pemicu Tingginya Niat Bunuh Diri Anak
Table of content:
Fenomena generasi cemas kini semakin meresahkan di banyak negara, khususnya di kalangan Generasi Z yang berusia antara 10 hingga 14 tahun. Dalam era modern ini, tantangan tumbuh kembang anak semakin kompleks, dan dampak dari teknologi digital sangat nyata terasa dalam kesehatan mental remaja.
Profesor Rhenald Kasali mengangkat isu ini berlandaskan penelitian yang dilakukan oleh Jonathan Haidt. Buku Haidt, yang berjudul “The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood Is Causing an Epidemic of Mental Illness”, menjelaskan bahwa perubahan besar dalam pola asuh anak mengakibatkan meningkatnya gangguan kesehatan mental di seluruh dunia.
Pemandangan ini tidak hanya terbatas pada negara-negara maju, tetapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kasali menekankan pentingnya bagi orang tua untuk memberi perhatian khusus pada gejala kecemasan yang mungkin dialami anak-anak mereka, terutama pada anak perempuan.
Perubahan Gaya Hidup dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Rhenald Kasali menekankan bahwa generasi ini mengalami krisis emosional yang memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa niatan untuk mengakhiri hidup pada anak perempuan telah meningkat sebesar 167 persen, sementara pada anak laki-laki angkanya mencapai 91 persen. Ini menjadi tanda bahaya bagi semua orang tua.
Dalam penelitian tersebut, kesedihan dan kecemasan juga meningkat secara signifikan. Kasus depresi mengalami kenaikan sebesar 134 persen dan depresi berat meningkat hingga 106 persen, menunjukkan adanya perubahan yang drastis dalam kesehatan mental anak-anak.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan meningkatnya kasus self-harm yang harus dirawat di rumah sakit. Pada anak perempuan, angka ini melonjak hingga 188 persen, sedangkan pada anak laki-laki mencapai 48 persen, menggambarkan tingkat stres yang sangat tinggi di antara generasi muda.
Peran Teknologi Dalam Munculnya Generasi Cemas
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena ini adalah teknologi dan media sosial. Rhenald mengamati bahwa anak laki-laki lebih cenderung melarikan diri ke dunia game sebagai cara untuk mengatasi tekanan. Sementara itu, anak perempuan sering kali terjebak dalam perasaan negatif akibat interaksi sosial di dunia maya.
Tekanan dari lingkungan sosial, yang kerap kali dipengaruhi oleh media sosial, menciptakan standar yang sulit dicapai. Akibatnya, banyak remaja merasa terisolasi dan tidak berdaya, yang pada gilirannya memperburuk kondisi mental mereka.
Di era yang serba digital ini, penting bagi orang tua untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak. Mengetahui bagaimana teknologi mempengaruhi perilaku dan psikologi anak merupakan langkah awal untuk mencegah berlanjutnya masalah ini.
Strategi Menghadapi Generasi Cemas
Agar dapat menangani tantangan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Pertama, edukasi mengenai kesehatan mental harus diperkuat baik di kalangan anak, orang tua, maupun pendidik. Kesadaran akan gejala-gejala kecemasan dan depresi bisa menjadi langkah awal untuk mendeteksi masalah sejak dini.
Kedua, menciptakan lingkungan yang mendukung sangat penting untuk mendorong anak-anak agar merasa aman dan dihargai. Ini dapat dilakukan dengan membangun rasa percaya diri melalui kegiatan positif dan interaksi sosial yang sehat.
Ketiga, penting juga untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari penggunaan teknologi yang berlebihan. Aktivitas luar ruangan dan permainan tradisional bisa menjadi alternatif yang baik untuk mengurangi ketergantungan pada gadget dan media sosial.
Kevin Haidt, dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa banyak anak mengalami jebakan emosional yang diperburuk oleh tekanan dari media sosial. Mereka sering kali merasa tidak memadai karena perbandingan sosial yang tidak realistis. Ini merupakan tantangan yang memerlukan perhatian lebih besar dari semua pihak, termasuk masyarakat.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now







